Tuesday, February 5, 2013

86 Kilometer


Jam tangan Casio G-Shock Giez-ku menunjukkan angka 02.49 WIB pada layar digitalnya. Aktivitas di rumah kecil dengan dua kamar, satu ruang tamu dan satu ruang keluarga sudah dimulai beberapa waktu yang lalu, kesibukan diluar rutinitas sehari-hari. Bagasi mobil Jepang keluaran 2005 sudah terisi berbagai barang sesuai dengan keperluan dan kebutuhan yang sudah direncanakan. Begitu sempitnya garasi rumah kecil ini, diperlukan dua kali memindahkan perseneling ke huruf “R” untuk siap meluncur meninggalkan komplek perumahan yang sebagian besar dihuni oleh keluarga muda. Tidak termasuk aku tentunya.
Jalan raya begitu lengang, hanya satu dua kendaraan melintas, maklum…hari masih gelap dan bukan waktunya orang untuk beraktifitas. Jam-jam segini merupakan waktu nyaman meringkuk di bawah selimut. Tapi 86 kilometer adalah tujuan saat ini yang mengalahkan rasa kantuk, malas ataupun kenikmatan lainnya.
Untuk mengusir rasa kantuk dan menghidupkan suasana kunyalakan radio yang terhubung dengan modulator perantara file-file MP3 ke gelombang radio. Tak ada protes maupun usul dari istriku atas lagu yang kuputar. Sesekali berbincang-bincang atas suasana perjalanan atau masalah-masalah kecil, tapi lebih banyak diamnya. Truk-truk dengan muatan berat sudah mulai nampak di depan mata. Asap tebal keluar dari knalpot seiring dengan suara menderu-deru seakan menyuarakan derita hidup yang berat dan semakin berat dengan kondisi jalanan yang menanjak dan bergelombang. Begitu ada celah antara truk-truk tua itu, ku tancap gas dan meliuk-liuk dengan manuver bak elang yang mencari mangsa untuk makan siang. Tak jarang manuverku mengundang emosi para sopir truk, tercermin dengan suara klakson yang berteriak lantang tanda kejengkelan tuannya yang kaget dengan kemunculan kendaraan kecil di depan matanya tanpa basi-basi. Maaf pak sopir….anda berjalan terlalu lambat…truk bapak menebarkan polusi yang jauh diambang batas. Daripada terbayang muka sebel bapak sopir, kutancap gas agak dalam…angka 80 sudah cukup untuk menghapus wajah sopir truk dari ketiga spionku. Yang tersisa hanya warna hitam pekat terpantul di ketiga cermin, wakil mataku untuk menengok ke belakang. Lamat-lamat terlihat bayangan gerbang selamat datang Kota Salatiga. Memori otak kananku langsung bereaksi, sebentar lagi kemudi harus aku putar ke kanan, menyusuri jalan yang sudah biasa dan akrab aku lewati menuju titik 86 kilometer. Jalan Lingkar Selatan Salatiga, untuk yang kesekian kalinya aku menyapamu meski tak pernah aku dengar bisikan selamat datang darimu. Ada beberapa traffic light memenggal tubuh jalan yang dibuat untuk mengurai kemacetan Kota Salatiga. Akupun harus berhitung antara pedal gas dan perubahan tiga warna lampu traffic light tersebut. Hijau adalah tujuanku jika aku sudah sampai pada tiga lampu yang setia untuk berganti warna. Bukan tidak beralasan aku punya perhitungan seperti itu. Di tempat yang sepi dan sangat jauh dari keramaian, kriminalitas selalu mengintip mencari kesempatan. Adalah tidak nyaman menghitung detik demi detik menunggu pergantian warna lampu di tempat sepi dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Jalan lingkar sudah berakhir. Mudah untuk mendeteksinya. Satu dua orang mengatur pergantian laju kendaraan dan mereka bukan petugas yang digaji untuk menjalankan tugasnya. Hanya belas kasih dan keikhlasan para pengguna jalan yang mereka harapkan. Begitu kaca jendela kendaraan terbuka dan tangan pengendarapun disambut dengan senyum dan ucapan terima kasih. Aku tidak tahu apakah senyum itu tetap ada jika tidak ada tangan yang keluar dari jendela para pengendara atau justru umpatan dan makian yang akan mengiringi para pengendara. Hanya mereka yang tahu. Ah…biarlah itu urusan mereka, jangan sampai pikiran dan angan ini merusak niat ikhlas dan ungkapan terima kasih atas bantuan mereka. Keberadaan mereka jelas-jelas sangat membantu, mengatur kendaraan dari 3 arah supaya tidak berebut saling mendahului yang berakibat kemacetan.
Tak terlihat lagi truk-truk tua yang beriringan seolah saling bergandengan berbagi beban yang tidak pernah dimengerti tuannya. Sesekali sepeda motor dengan muatan sayur sayuran melaju dengan kecepatan tinggi seakan berebut rejeki. Terpikir olehku, jam berapa mereka bangun, sejak kapan rutinitas itu mereka mulai, enjoy-kah dengan kondisi yang mereka jalani atau karena tak ada pilihan lain. Hidup ini beragam tapi banyak anak manusia yang tidak bisa memilih atas keberagaman roda kehidupan. I have no choice, hanya ungkapan itu yang keluar dari mulut-mulut dengan pola pikir sederhana.
Kulirik barisan angka digital pada LCD dashboard mobil Jepangku, 04.04. Sebentar lagi panggilan untuk bermunajat dengan Sang Kholik akan berkumandang. Masih ada waktu untuk merayu RPM mobil ini tetap dikisaran angka 3000-an tak perlu mendekat ke putaran 4000-an, tak ada yang harus kukejar dan juga tak ada rasa iseng menghampiri benakku untuk menaikkan adrenalin dengan sedikit kebut-kebutan di jalan yang lebar, sepi dan mulus. Jangan….sekali-kali jangan….konsentrasi mulai menurun, rasa kantuk ini membombardir mataku. Gerbang pincang tinggal beberapa puluh meter lagi. O iya…kenapa gerbang itu aku kasih nama pincang, karena gerbang itu mempunyai sisi yang berbeda satu sama lainnya. Beberapa waktu lalu gerbang itu tidaklah pincang, simetris layaknya gerbang-gerbang selamat datang sebuah kota.  Kemakmuran serta kepintaran manusia yang membuat gerbang itu pincang, pelebaran jalan memaksa salah satu gapura gerbang merelakan separo sisinya di amputasi, hingga tinggal bagian yang pendek. Program pada otak kananku langsung running, pertigaan pertama belok kiri. Tak kulihat pengamen pertigaan yang selalu mengucapkan terima kasih atas receh yang kuberikan sebelum dia menyanyi dengan gitar kecilnya, matur nuwun pak, kulo dereng nyanyi sampun panjenengan paringi arto, mugi-mugi kathah rejeki kaliyan lancar wonten mergi…Amin….akupun mengiyakan doanya.
Jalan berkelok-kelok dengan lubang di sana-sini memaksaku untuk menajamkan mata meski serasa ada beban berkilo-kilo di setiap ujung kelopak mataku. Terlepas dari jalan yang kondisinya bak pipi gadis belia yang penuh dengan lubang-lubang jerawat yang tidak dikelola dengan baik, masuk di kawasan militer. Garis kejut yang sengaja di pasang seolah-olah mengingatkanku bahwa aku berada di kawasan penjaga kedaulatan negara dan bangsa. Tinggal satu lagi keberuntunganku dipertaruhkan, satu traffic light yang menuntut kesabaran, angka yang mengiringi warna hijau dimulai dengan bilangan 15 sangat tidak imbang dengan bilangan hampir satu setengah menit yang menemani bulatan warna merah. Begitu terlepas dari sergapan bulatan merah, kuinjak pelan-pelan pedal gas mobil Jepang-ku.
Kulihat kubah putih yang begitu megah, dari sisi selatannya berjalan satriwati-santriwati seusia kedua bidadariku dengan mukena warna putih. Adakah dua diantara mereka merupakan buah hatiku, amanah yang Allah titipkan padaku…atau kedua bidadariku sudah berada di dalam bangunan megah dengan kubah putihnya? Kubelokkan setang kemudi mobil Jepang-ku berseberangan dengan gerbang bertuliskan Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam, Pabelan, Sukoharjo. Kupilih tempat yang teduh di waktu siang hari dan tidak mengganggu kendaraan lain. Dan….perjalanan menuju titik 86 kilometer telah berakhir.

No comments:

Post a Comment