Pagi
yang cerah di sebuah rumah yang terletak di sudut kota Washington DC, Amerika
Serikat. Terlihat seorang ibu muda sibuk menyiapkan sarapan sambil menerima
telpon dari rekan kerjanya. Ibu muda itu bernama Rina, orang Indonesia yang bekerja
di NASA. Rina Mengurus Salma yang masih berusia 10 tahun seorang diri, Waktunya
bersama Salma pun sangat terbatas karena ia sibuk bekerja. Meskipun begitu ia
tetap berusaha untuk meluangkan waktu bersama anak semata wayangnya. Tak lama
setelah sarapan siap Salma datang lengkap dengan seragamnya yang sudah rapi.
“Ma,
hari ini jadi ke sekolah kan?” Tanya Salma dengan mata berbinar-binar.
“Maafin
mama sayang, hari ini mama ada rapat mendadak. Mam janji lain kali mama pasti
datang ke sekolah Salma,” jawab Rina dengan nada menyesal.
Tiba-tiba
bel rumah mereka menjerit. Saat Rina membuka pintu, terlihat seorang laki-laki
yang ia kenal baik, juga putrinya. Ia adalah Haidar.
“Om!”
seru Salma sambil berlari kea rah Haidar dan memeluknya, Haidarpun menggendongnya
dengan penuh kasih sayang.
“Salma
kangen sama Om?” Tanya Haidar yang langsung disambut dengan anggukan kepala
Salma.
“Mau nggak hari ini berangkat sekolahnya Om yang
nganterin?”
“Mau,mau!”
jawab Salma buru-buru takut haidar berubah pikiran.
Rina
hanya tersenyum penuh harap melihat keakraban itu. Haidar memang selalu
berkunjung ke rumahnya di awal pecan, membuat Salma seperti memiliki sosok
Ayah.
Seharian
penuh Salma jalan-jalan sama Haidar. Tentu saja Salma senang. Namun ada sesuatu yang membuat Salma heran. Entah
mengapa style pakaian Omnya itu berubah, ia juda menutupi rambut aslinya dengan
wig, selain itu Haidar terlihat menghindari tatapan orang-orang. Iseng –iseng
Salmna menanyakan hal itu.”Biar aman,”ujar Haidar keceplosan. “Maksudnya, biar
nggak kepanasan, jadi aman dari sinar ultra violet,”buru-buru ia meralat
kallimatnya sambil membenarkan wig. Jawaban haidar yang plin-plan membuat
kening anak cerdas itu berlipat, namum Salma tidak memikirkannya terlalu jauh.
“Mau
es krim sayang?” Tanya Haidar dengan lembut yang langsung dijawab Salma dengan
anggukan penuh minat. Belum sempat kaki mereka melangkah lebih jauh ketika
tiba-tiba HP Haidar bordering. Seketika wajahnya menegang setelah menerima
telpon yang entah dari siapa itu.
“Kita
pulang sekarang Salma,” kata Haidar sambil menarik tangan Salma. Entah mengapa,
Salma merasa takut bertanya karena ia sadar ada seseorang yang dari tadi
mengikuti mereka dengan tatapan aneh penuh curiga.
Mobil
Haidar berhenti di tempat asing. Salma baru akan bertanya ketika dia melihat
mobil mamanya merapat kea rah mereka.
“Salma
pulang sama mama sekarang,’ perintah Haidar tegas dan dingin. Butiran keringat
mengucur dari kening yang biasa Salma cium.
“Iya
om” dengan nada takut ia turun meninggalkan mobil Haidar. Setelah masuk ke
mobil mamanya, Salma melihat mobil Haidar melaju dengan kecepatan gila-gilaan.
“Mama,
Om Haidar kenapa?” Tanya Salma dengan nada terputus-putus.
“Nggak
apa-apa sayang, kita pulang sekarang ya?” ujar Rina dengan suara lemah sambil
meluncurkan sedan hitamnya.
Sepanjang
perjalanan, Salma mencoba merangkai-rangkai dan menghubungkan kejadian serta
tingkah aneh Omnya. Pikiran bocah berumur 10 tahun itu kalut. “Ya Allah
lindungilah Om Haidar,” doanya dalam hati.
Salma
sedang memperhatikan pelajaran ketika tiba-tiba wali kelasnya menyuruh Salma
bergegas merapikan buku dan membimbingnya keluar. Salma hanya diam mengikuti
meskipun di otaknya berkelebat berjuta pertanyaan. Tiba-tiba mama datang
memeluknya dengan mata basah bersimbah air mata. “Mama kenapa?” Tanya Salma
yang langsung diajak masuk mobil. “Mama, ada apa ma?” Tanya Salma ketika sadar
bahwa mobil mamanya parker di sebuah bangunan bercat putih tulang. Bangunan
besar itu adalah Rumah Sakit.
“Ayo
turun sayang, Om Haidar sakit,” ujar Rina sambil menggamit lengan Salma bersamaan dengan tetes air mata pertamanya.
Untuk
sesaat Salma terpaku, pikirannya melayang kepada laki-laki yang selalu
dikhayalkan menjadi ayahnya itu. “Om Haidar,” bisiknya pelan nyaris tak
terdengar. Lalu siapa yang akan mengajaknya weekend tiap minggu kalau om
tersayangnya itu sakit?Pikiran bocah berumur 10 tahun itu mulai
bercabang-cabang. Lorong-lorong rumah sakit itu serasa beribu-ribu kilometer
jauhnya hingga akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan. Dengan mata terpejam
Salma masuk ke ruangan Haidar yang terasa dingin.
“Mama,
Om Haidar kenapa ma?” Tanya Salma gemetar melihat tubuh Haidar yang berbalut
infus. Alih-alih menjawab pertanyaan Salma, Rina memeluk putrinya erat. “Om
Haidar itu, dia…papa Salma,” ujar Rina dengan terbata-bata diselingi isakan
kecil.
Salma
melihat prosesi pemakaman itu dengan pandangan yang sulit diterjemahkan.
Penjelasan mama tentang status papanya yang ternyata seorang mafia juga
pekerjaan yang tidak hanya menjadi sebuah pekerjaan tapi juga sebagai bentuk
bukti bakti kepada leluhur membuat Salma paham mengapa selama ini Haidar
menyembunyikan identitasnya sebagai ayah Salma, ayah yang hamper tiap malam ia
impikan. Sayangnya aksi jahat Haidar sudah terdeteksi oleh FBI, ia meninggal
oleh tembakan yang mengakhiri segalanya bahkan sebelum ia sempat memanggilnya
“Papa”.
Tiba-tiba air mata Salma tumpah menyadari hal itu. Ya Allah, bahkan dia
belum sempat berujar satu kata itu. Satu kata yang biasa diucapkan teman-teman
sebayanya “Papa…”
short story by Restika Citra Rahmawati
tunggu edisi berikutnya...ya Yah...
ReplyDelete@reiko...