Tuesday, January 22, 2013

THE TRUTH OF FATHER


Pagi yang cerah di sebuah rumah yang terletak di sudut kota Washington DC, Amerika Serikat. Terlihat seorang ibu muda sibuk menyiapkan sarapan sambil menerima telpon dari rekan kerjanya. Ibu muda itu bernama Rina, orang Indonesia yang bekerja di NASA. Rina Mengurus Salma yang masih berusia 10 tahun seorang diri, Waktunya bersama Salma pun sangat terbatas karena ia sibuk bekerja. Meskipun begitu ia tetap berusaha untuk meluangkan waktu bersama anak semata wayangnya. Tak lama setelah sarapan siap Salma datang lengkap dengan seragamnya yang sudah rapi.
“Ma, hari ini jadi ke sekolah kan?” Tanya Salma dengan mata berbinar-binar.
“Maafin mama sayang, hari ini mama ada rapat mendadak. Mam janji lain kali mama pasti datang ke sekolah Salma,” jawab Rina dengan nada menyesal.
Tiba-tiba bel rumah mereka menjerit. Saat Rina membuka pintu, terlihat seorang laki-laki yang ia kenal baik, juga putrinya. Ia adalah Haidar.
“Om!” seru Salma sambil berlari kea rah Haidar dan memeluknya, Haidarpun menggendongnya dengan penuh kasih sayang.
“Salma kangen sama Om?” Tanya Haidar yang langsung disambut dengan anggukan kepala Salma.
“Mau  nggak hari ini berangkat sekolahnya Om yang nganterin?”
“Mau,mau!” jawab Salma buru-buru takut haidar berubah pikiran.
Rina hanya tersenyum penuh harap melihat keakraban itu. Haidar memang selalu berkunjung ke rumahnya di awal pecan, membuat Salma seperti memiliki sosok Ayah.
Seharian penuh Salma jalan-jalan sama Haidar. Tentu saja Salma senang. Namun  ada sesuatu yang membuat Salma heran. Entah mengapa style pakaian Omnya itu berubah, ia juda menutupi rambut aslinya dengan wig, selain itu Haidar terlihat menghindari tatapan orang-orang. Iseng –iseng Salmna menanyakan hal itu.”Biar aman,”ujar Haidar keceplosan. “Maksudnya, biar nggak kepanasan, jadi aman dari sinar ultra violet,”buru-buru ia meralat kallimatnya sambil membenarkan wig. Jawaban haidar yang plin-plan membuat kening anak cerdas itu berlipat, namum Salma tidak memikirkannya terlalu jauh.
“Mau es krim sayang?” Tanya Haidar dengan lembut yang langsung dijawab Salma dengan anggukan penuh minat. Belum sempat kaki mereka melangkah lebih jauh ketika tiba-tiba HP Haidar bordering. Seketika wajahnya menegang setelah menerima telpon yang entah dari siapa itu.
“Kita pulang sekarang Salma,” kata Haidar sambil menarik tangan Salma. Entah mengapa, Salma merasa takut bertanya karena ia sadar ada seseorang yang dari tadi mengikuti mereka dengan tatapan aneh penuh curiga.
Mobil Haidar berhenti di tempat asing. Salma baru akan bertanya ketika dia melihat mobil mamanya merapat kea rah mereka.
“Salma pulang sama mama sekarang,’ perintah Haidar tegas dan dingin. Butiran keringat mengucur dari kening yang biasa Salma cium.
“Iya om” dengan nada takut ia turun meninggalkan mobil Haidar. Setelah masuk ke mobil mamanya, Salma melihat mobil Haidar melaju dengan kecepatan gila-gilaan.
“Mama, Om Haidar kenapa?” Tanya Salma dengan nada terputus-putus.
“Nggak apa-apa sayang, kita pulang sekarang ya?” ujar Rina dengan suara lemah sambil meluncurkan sedan hitamnya.
Sepanjang perjalanan, Salma mencoba merangkai-rangkai dan menghubungkan kejadian serta tingkah aneh Omnya. Pikiran bocah berumur 10 tahun itu kalut. “Ya Allah lindungilah Om Haidar,” doanya dalam hati.
Salma sedang memperhatikan pelajaran ketika tiba-tiba wali kelasnya menyuruh Salma bergegas merapikan buku dan membimbingnya keluar. Salma hanya diam mengikuti meskipun di otaknya berkelebat berjuta pertanyaan. Tiba-tiba mama datang memeluknya dengan mata basah bersimbah air mata. “Mama kenapa?” Tanya Salma yang langsung diajak masuk mobil. “Mama, ada apa ma?” Tanya Salma ketika sadar bahwa mobil mamanya parker di sebuah bangunan bercat putih tulang. Bangunan besar itu adalah Rumah Sakit.
“Ayo turun sayang, Om Haidar sakit,” ujar Rina sambil menggamit lengan Salma  bersamaan dengan tetes air mata pertamanya.
Untuk sesaat Salma terpaku, pikirannya melayang kepada laki-laki yang selalu dikhayalkan menjadi ayahnya itu. “Om Haidar,” bisiknya pelan nyaris tak terdengar. Lalu siapa yang akan mengajaknya weekend tiap minggu kalau om tersayangnya itu sakit?Pikiran bocah berumur 10 tahun itu mulai bercabang-cabang. Lorong-lorong rumah sakit itu serasa beribu-ribu kilometer jauhnya hingga akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan. Dengan mata terpejam Salma masuk ke ruangan Haidar yang terasa dingin.
“Mama, Om Haidar kenapa ma?” Tanya Salma gemetar melihat tubuh Haidar yang berbalut infus. Alih-alih menjawab pertanyaan Salma, Rina memeluk putrinya erat. “Om Haidar itu, dia…papa Salma,” ujar Rina dengan terbata-bata diselingi isakan kecil.
Salma melihat prosesi pemakaman itu dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. Penjelasan mama tentang status papanya yang ternyata seorang mafia juga pekerjaan yang tidak hanya menjadi sebuah pekerjaan tapi juga sebagai bentuk bukti bakti kepada leluhur membuat Salma paham mengapa selama ini Haidar menyembunyikan identitasnya sebagai ayah Salma, ayah yang hamper tiap malam ia impikan. Sayangnya aksi jahat Haidar sudah terdeteksi oleh FBI, ia meninggal oleh tembakan yang mengakhiri segalanya bahkan sebelum ia sempat memanggilnya “Papa”.
Tiba-tiba air mata Salma tumpah menyadari hal itu. Ya Allah, bahkan dia belum sempat berujar satu kata itu. Satu kata yang biasa diucapkan teman-teman sebayanya “Papa…”
short story by Restika Citra Rahmawati

1 comment: